Friday, January 11, 2008

berenang

Beberapa waktu lalu seorang teman mengajakku berenang. Haah? lagi puncaknya musim dingin begini berenang? yang boneng aja... no problem, kata dia, kita ngga akan kedinginan karena air di kolam renang itu hangat. Ya sudahlah berhubung ngga ada kerjaan dan masih libur kuliah, kenapa ngga? lets try it... Tapi aku ga punya celana renang, no problem, kata dia, kita bisa beli di yokohama eki. ah ya sudah kita beli deh ntar.
Dengan naik sepeda kita berangkat menyusuri jalanan yokohama dalam cuaca yang membeku brrrbbhhh.. tapi no problem, selama pakai jaket dan perlengkapan yg menutupi seluruh badan dari ujung rambut sampai ujung kaki, kita ngga akan kedinginan. Baru sebentar mengayuh sepeda sudah keringatan. Asyik...
Mampir di daerah yokohama eki kita berburu pakaian renang. Di tempat parkir sepeda kok sepeda-sepeda yang parkir disana ditempelin stiker seragam yang sepertinya stiker tilang.. wah tanda bahaya nih. Kata teman2 kalau kena tilang sepeda musti bayar 6000 yen, waks... setelah diteliti ternyata emang di jalan itu ada tanda larangan parkir. lho tapi kok sepeda yang parkir ada banyak banget disana? terus kita harus parkir dimana dong? ah bodo ikutin aja orang2. Kita parkir dan cari toko pakaian. Pertama kita cari di toko pakaian, eh adanya baju musim dingin semua. Ngga mungkin dong berenang pakai jaket long coat yang berbulu tebal itu. Coba tanya ke petugas toko, dia ga ngerti bhs inggris, kita ga tau ngomong celana renang dalam bhs jepun. nah lo... setelah cari sana-sini, tanya sana-sini, naik-turun tangga, akhirnya ada yg bilang coba aja cari ke toko sebelah, cari di bagian sport. hah ide bagus tuh. Setelah pindah ke toko sebelah ternyata pakaian renang ditaruh dipojok terpencil dan tersembunyi. huff akhirnya ketemu juga. Jadilah sepotong celana renang, topi renang, dan kacamata renang pindah tangan dengan ganjaran selembar yen nominal sepuluh rebo.
Kembali ke tempat parkir, sepeda kita masih aman. thanks God. Terus ketemu temannya Phong, eh dia cerita kalau motornya kena tilang dan harus bayar denda 9000 yen. wow... untung kita ga kena. Ya sudah deh kayuh lagi sepeda ke swimming pool. Benar aja di dalam gedung itu hangat dan airnya juga hangat. Wah lumayan lah berenang satu jam. Tiket masuk 400 yen plus ekstra kalau lewat dari waktu satu jam.
Selesai berenang makan eskrim, dua potong. wah segarrrrr

Tuesday, January 1, 2008

Laskar Pelangi

Book Review
Author: Andrea Hirata

それは非常に極度の特別な本、書かれている最もよいインドネシア小説! 完全にである。
It is definitely a super special book, the best Indonesian novel ever written!.
Tak diragukan lagi, ini adalah novel terbaik yang pernah ditulis oleh orang Indonesia.

Novel ini dimulai dengan sebuah cerita sederhana tentang sebuah sekolah miskin di suatu wilayah miskin yang sedang melakukan penerimaan murid baru, murid-murid yang miskin tentu saja. Sebenarnya kisah stereotip Indonesia yang bisa kita temui di banyak tempat dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tidak di halaman-halaman pertama sebuah novel komersil. Aku ingat dulu sekolahkupun, sebuah SD di sekitar danau Toba, kondisinya sama memprihatinkan. Lokasinya yang dikelilingi sawah dengan ketinggian nyaris sama dengan permukaan sawah itu, membuat lapangan sekolah lebih mirip kubangan kerbau. Seringkali kami, para siswa, dapat tugas ekstra untuk mengambil pasir dari tepian sebuah sungai dan digunakan untuk menimbun lapangan sekolah. Tapi seingatku sampai aku pindah dari sekolah tersebut, tiga tahun kemudian, kondisinya tidaklah lebih baik. Sebuah sumur tua yang tidak berfungsi, gedung kelas yang reot, meja kursi yang lapuk, dan toilet yang memabukkan, aku rasa tidak jauh berbeda dengan sekolah Muhammadiyah yang diceritakan di novel ini.

Secara garis besar novel ini mengajarkan padaku tentang arti keiklasan, perjuangan, dan integritas. Cerita mulai mengalir memperkenalkan para karakter sederhana, nyaris dalam segala hal dalam keterbatasan, namun bahagia dengan keiklasan berkorban untuk sesama. Para karakter yang punya prinsip: hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Seringkali terjadi orang yang tidak punya lebih iklas memberi daripada orang yang berpunya. Orang kaya hanya akan memberi dari kelimpahannya, sedangkan orang miskin memberi dari kekurangannya, tidak jarang semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.

Beberapa bab pembuka bertutur dengan agak lamban dan datar namun rendah hati, jelas menunjukkan karakter penulis novel ini seorang yang humble, humanis, dan anti menggurui. Dia menceritakan ketimpangan sosial dan ketidakadilan tanpa rasa sakit hati dan dendam. Menceritakan kemiskinan dan kebodohan tanpa rasa minder dan menyesali diri. Menceritakan SARA dari sudut pandang seorang anak kecil yang lugu dan tanpa prasangka. Hebatnya dia juga bisa menceritakan istilah-istilah biologi, geologi, astronomi, fisika dan kimia dengan indah dan sangat menarik. Seandainya gue dulu pakai pola pendekatan seperti dia ya, instead of menghafal mati nama-nama Latin yang merenggut sedikit keceriaan masa kecilku. Yang lebih hebat lagi, dia menceritakan cinta dalam bentuknya yang paling hakiki dan polos, dan karenanya menjadi cinta yang paling tulus. Cinta pada orang tua, sahabat, kekasih, dan sesama manusia.

Menjelang bab 10 cerita mulai menggigit. Perasaan geli, lucu, haru, sedih, romansa, prihatin, dan simpati yang sangat bercampur aduk. Coba lihat caranya menceritakan karakter Kucai, sang ketua kelas, hingga sampai pada kesimpulan: "...maka jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan oportunis dengan otaknya yang lemot-Kucai memiliki semua kualitas untuk menjadi seorang politisi" (ha ha ha...). Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya dan gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta ampun. Tapi fragmen-fragmen tentang kesalahpahaman yang diakibatkan rabun jauh dan pandangan mata yang melenceng dari Kucai-lah yang paling sering membuatku tertawa geli. Atau lihat caranya menceritakan karakter Bodenga dalam sebuah kesepian dan kesendirian yang absolut. Bodenga dengan sempurna mewakili citra perasaan gamang, pilu, dan sedih yang paling dalam.

Walaupun sedikit (atau banyak?) berlebihan, karakter Lintang dan Mahar menularkan semangat juang, tekad, dan kerja keras, sekaligus juga kerendahan hati dan penuh persahabatan. Karakter yang muncul karena pengalaman pahit dan rasa ngilu dari kepahitan realita hidup. Aku suka kalimat-kalimat yang dipakai untuk menularkan nilai-nilai tanpa harus menggurui, seperti: "...dan ternyata jika kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah menjalar". Lintang, dan terutama Mahar dengan cara yang elegan dan kocak mampu memompa semangat juang, keberanian bercita-cita melawan nasib, dan kepercayaan diri bagi teman-temannya kaum marginal, kaum mayoritas orang Indonesia. Tokoh Lintang telah mampu menguras airmata Ibunda Guru dan sahabat-sahabatnya, serta menarik simpati dan empati dari para pembaca, sekaligus jadi tokoh yang paling inspiratif dalam Laskar Pelangi. Oh ya, ada sedikit ganjalan pada saat Lintang menjawab pertanyaan cerdas cermat. Sepertinya ada salah ketik pada pertanyaan dan jawaban tentang kalimat integral dan luas area. Kalau bukan pertanyaannya kurang lengkap pasti jawabannya terlalu lengkap, he he saking penasaran dan terbius oleh kejeniusan si Lintang, aku sampai menggambar grafik pada selembar kertas. Atau jangan-jangan memang Andrea sengaja melakukannya?

Dan cerita cinta Ikal dengan A Ling...? Wah ga tau deh mau komentar apa, speechless... Tapi mungkin ini adalah gambaran cinta pada bentuknya yang paling murni. Demikian murni sehingga seluruh alam semesta bersekongkol mempertemukan mereka dan juga, pada saatnya, memisahkan pula. Coba lihat penggalan prosa berikut: "...aku tahu, sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa indah ini."

Aku belum pernah membaca novelnya si penyihir cilik yang kesohor dan memesona jutaan orang di dunia termasuk di Indonesia itu, salah satu alasannya karena aku merasa novel itu 100% fiktif dan gothic. Tapi aku bisa bilang kalau Laskar Pelangi tidak kalah imajinatif dibanding Harry Potter. Kesan itu sangat terasa di karakter Mahar bersama societeit de Limpai-nya. Tapi jelas Laskar Pelangi punya kelebihan dibanding penyihir imajinatif tersebut yang bisa disimpulkan dari pesan Tuk Bayan Tula untuk Mahar dan Flo: "Kalau ingin lulus ujian, buka buku, belajar!!". Tak ada yang dapat dicapai di dunia ini tanpa usaha yang rasional. Mohon maaf buat para fanatis Harry Potter, lagipula aku lebih cinta produksi asli buatan anak negeri sendiri.

Bagian akhir dari novel mengingatkanku pada film Forrest Gump. Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena. Hidup bagaikan sekotak coklat, kau tak pernah tahu rasa apa yang akan kau dapatkan. Sebenarnya aku baru tahu novel ini pada waktu pulang liburan summer kemarin ke Indonesia dan direkomendasikan seorang teman di Jakarta. Aku harus berterima kasih padanya untuk itu. Tapi ketika itu aku tidak sempat membaca lebih dari bab-bab awal dan selanjutnya buku itu aku tinggal di Jakarta. Awal Desember kemarin ketika pulang ke Medan aku mampir ke Gramedia dengan niat mencari buku pertama dari Ferdi Riva, seorang teman SMA dulu, namun tidak ada sehingga aku beli aja tiga buku dari tetralogi Laskar Pelangi ini. Hmm sekarang aku sudah tidak sabar ingin membaca buku kedua dan ketiganya. Pasti lebih menarik dan memotivasi lagi. Sukses terus bang Andrea! I am proud of you.

Saturday, December 29, 2007

Ulos Saput

Get this widget | Track details | eSnips Social DNA

Bereng ma Inong tangis ni da Tulang i

Bereng ma Inong pangandung ni Nantulang i
Pasahat ulos saput i ulos parsirangan i
Na sian Tulang i

Bereng ma Inong iluni natorop i
Bereng ma Inong pangangguk ni da gelleng mon
Paadop-adop bakkemi napeak di tonga jabu i
Jabu na pinukkami

Di nasorang ho Inong na uju i
Humalaput do da Tulang mi
Lao mamboan ulos paroppa mi
Nang songon i aek ni utte i

Di na marujung ho Inong da na burju
Pittor ro do da Tulang i
Lao pasahathon ulos saput i
Ima ulos parsirangan i

Di parmondingmon Inong
Jaloon nami ma hape
Ima ulos holong i
Na sian Tulang i

Bereng ma Inong ilu ni natorop i
Bereng ma Inong pangangguk ni da gellengmon
Paadop-adop bakkemi
Napeak di tonga jabu i
Jabu na pinukka mi

Di na sorang ho Inong na uju i
Humalaput do da Tulang mi
Lao mamboan ulos paroppa mi
Nang songon i aek ni utte i

Di na marujung ho Inong da na burju
Pittor ro do da Tulang i
Lao pasahathon ulos saput i
Ima ulos parsirangan i

Di parmondingmon Inong
Jaloon nami ma hape
Ima ulos holong i
Na sian Tulang i

Di parmondingmon Inong
Jaloon nami ma hape
Ima ulos holong i
Na sian Tulang i

Pertama kali aku mendengar lagu Ulos Saput ini di acara Sarimatua ni daInang di Medan awal Desember 2007. Hanya sepotong kecil lagu ini yang diperdengarkan namun tepat pada salah satu momen yang paling mengharukan. Merasa penasaran, aku coba cari di internet dan aku temukan.

Mendengarkan lagu ini membawa kembali suasana yang kurasakan di acara Sarimatua tersebut. Lirik lagu ini menceritakan tentang suasana hati seorang anak pada saat melihat Tulang menyampirkan Ulos Saput ke atas jenazah Ibunya. Ulos Saput adalah simbol perpisahan terakhir buat Ibunda tercinta sebelum dikebumikan. Mengingat posisi Tulang dalam keluarga batak yang ditinggikan, dimuliakan, bahkan disembah, merekalah yang memberikan simbol perpisahan terakhir buat mendiang.

Namun juga sebagai penyeimbang, dan disini letak indahnya adat batak ternyata, Tulang selalu menjadi pihak yang paling menyayangi dan mengasihi. Hal ini disimbolkan dengan penyampiran Ulos Holong bagi keluarga yang ditinggalkan, mulai dari Ayah, anak-anak dan menantu, serta semua cucu. Khusus untuk Ayah, Tulang juga menyampirkan Ulos Tujung / Ulos Sampetua. Aku kurang tahu persis maknanya, mungkin sebagai simbol penguat hati dan penghiburan bagi Ayah dan semoga keluarga yang ditinggalkan menerima berkat dari Tuhan (asa sampe parhorasan panggabean tu sude pinomparna).

Dalam lagu ini juga menuturkan bahwa Tulang juga jadi pihak pertama yang menyambut kehadiran sang Ibunda pada saat lahir dahulu kala. Pada saat itu Tulang segera membawa Ulos Paroppa (selendang untuk menggendong bayi) dan aek ni utte (mungkin sejenis air buah) . Jadi Tulang-lah yang pertama bergembira menyambut kelahiran Ibunda, dan Tulang juga yang terakhir menyampaikan salam perpisahan pada saat Ibu meninggal.