Book Review
Author: Andrea Hirata
それは非常に極度の特別な本、書かれている最もよいインドネシア小説! 完全にである。
It is definitely a super special book, the best Indonesian novel ever written!.
Tak diragukan lagi, ini adalah novel terbaik yang pernah ditulis oleh orang Indonesia.
Novel ini dimulai dengan sebuah cerita sederhana tentang sebuah sekolah miskin di suatu wilayah miskin yang sedang melakukan penerimaan murid baru, murid-murid yang miskin tentu saja. Sebenarnya kisah stereotip Indonesia yang bisa kita temui di banyak tempat dalam kehidupan sehari-hari, tetapi tidak di halaman-halaman pertama sebuah novel komersil. Aku ingat dulu sekolahkupun, sebuah SD di sekitar danau Toba, kondisinya sama memprihatinkan. Lokasinya yang dikelilingi sawah dengan ketinggian nyaris sama dengan permukaan sawah itu, membuat lapangan sekolah lebih mirip kubangan kerbau. Seringkali kami, para siswa, dapat tugas ekstra untuk mengambil pasir dari tepian sebuah sungai dan digunakan untuk menimbun lapangan sekolah. Tapi seingatku sampai aku pindah dari sekolah tersebut, tiga tahun kemudian, kondisinya tidaklah lebih baik. Sebuah sumur tua yang tidak berfungsi, gedung kelas yang reot, meja kursi yang lapuk, dan toilet yang memabukkan, aku rasa tidak jauh berbeda dengan sekolah Muhammadiyah yang diceritakan di novel ini.
Secara garis besar novel ini mengajarkan padaku tentang arti keiklasan, perjuangan, dan integritas. Cerita mulai mengalir memperkenalkan para karakter sederhana, nyaris dalam segala hal dalam keterbatasan, namun bahagia dengan keiklasan berkorban untuk sesama. Para karakter yang punya prinsip: hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Seringkali terjadi orang yang tidak punya lebih iklas memberi daripada orang yang berpunya. Orang kaya hanya akan memberi dari kelimpahannya, sedangkan orang miskin memberi dari kekurangannya, tidak jarang semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.
Beberapa bab pembuka bertutur dengan agak lamban dan datar namun rendah hati, jelas menunjukkan karakter penulis novel ini seorang yang humble, humanis, dan anti menggurui. Dia menceritakan ketimpangan sosial dan ketidakadilan tanpa rasa sakit hati dan dendam. Menceritakan kemiskinan dan kebodohan tanpa rasa minder dan menyesali diri. Menceritakan SARA dari sudut pandang seorang anak kecil yang lugu dan tanpa prasangka. Hebatnya dia juga bisa menceritakan istilah-istilah biologi, geologi, astronomi, fisika dan kimia dengan indah dan sangat menarik. Seandainya gue dulu pakai pola pendekatan seperti dia ya, instead of menghafal mati nama-nama Latin yang merenggut sedikit keceriaan masa kecilku. Yang lebih hebat lagi, dia menceritakan cinta dalam bentuknya yang paling hakiki dan polos, dan karenanya menjadi cinta yang paling tulus. Cinta pada orang tua, sahabat, kekasih, dan sesama manusia.
Menjelang bab 10 cerita mulai menggigit. Perasaan geli, lucu, haru, sedih, romansa, prihatin, dan simpati yang sangat bercampur aduk. Coba lihat caranya menceritakan karakter Kucai, sang ketua kelas, hingga sampai pada kesimpulan: "...maka jika digabungkan sifat populis, sok tahu, dan oportunis dengan otaknya yang lemot-Kucai memiliki semua kualitas untuk menjadi seorang politisi" (ha ha ha...). Seperti kebanyakan politisi jika ia bicara tatapan matanya dan gayanya sangat meyakinkan walaupun dungunya minta ampun. Tapi fragmen-fragmen tentang kesalahpahaman yang diakibatkan rabun jauh dan pandangan mata yang melenceng dari Kucai-lah yang paling sering membuatku tertawa geli. Atau lihat caranya menceritakan karakter Bodenga dalam sebuah kesepian dan kesendirian yang absolut. Bodenga dengan sempurna mewakili citra perasaan gamang, pilu, dan sedih yang paling dalam.
Walaupun sedikit (atau banyak?) berlebihan, karakter Lintang dan Mahar menularkan semangat juang, tekad, dan kerja keras, sekaligus juga kerendahan hati dan penuh persahabatan. Karakter yang muncul karena pengalaman pahit dan rasa ngilu dari kepahitan realita hidup. Aku suka kalimat-kalimat yang dipakai untuk menularkan nilai-nilai tanpa harus menggurui, seperti: "...dan ternyata jika kita tulus berada di dekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah menjalar". Lintang, dan terutama Mahar dengan cara yang elegan dan kocak mampu memompa semangat juang, keberanian bercita-cita melawan nasib, dan kepercayaan diri bagi teman-temannya kaum marginal, kaum mayoritas orang Indonesia. Tokoh Lintang telah mampu menguras airmata Ibunda Guru dan sahabat-sahabatnya, serta menarik simpati dan empati dari para pembaca, sekaligus jadi tokoh yang paling inspiratif dalam Laskar Pelangi. Oh ya, ada sedikit ganjalan pada saat Lintang menjawab pertanyaan cerdas cermat. Sepertinya ada salah ketik pada pertanyaan dan jawaban tentang kalimat integral dan luas area. Kalau bukan pertanyaannya kurang lengkap pasti jawabannya terlalu lengkap, he he saking penasaran dan terbius oleh kejeniusan si Lintang, aku sampai menggambar grafik pada selembar kertas. Atau jangan-jangan memang Andrea sengaja melakukannya?
Dan cerita cinta Ikal dengan A Ling...? Wah ga tau deh mau komentar apa, speechless... Tapi mungkin ini adalah gambaran cinta pada bentuknya yang paling murni. Demikian murni sehingga seluruh alam semesta bersekongkol mempertemukan mereka dan juga, pada saatnya, memisahkan pula. Coba lihat penggalan prosa berikut: "...aku tahu, sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa indah ini."
Aku belum pernah membaca novelnya si penyihir cilik yang kesohor dan memesona jutaan orang di dunia termasuk di Indonesia itu, salah satu alasannya karena aku merasa novel itu 100% fiktif dan gothic. Tapi aku bisa bilang kalau Laskar Pelangi tidak kalah imajinatif dibanding Harry Potter. Kesan itu sangat terasa di karakter Mahar bersama societeit de Limpai-nya. Tapi jelas Laskar Pelangi punya kelebihan dibanding penyihir imajinatif tersebut yang bisa disimpulkan dari pesan Tuk Bayan Tula untuk Mahar dan Flo: "Kalau ingin lulus ujian, buka buku, belajar!!". Tak ada yang dapat dicapai di dunia ini tanpa usaha yang rasional. Mohon maaf buat para fanatis Harry Potter, lagipula aku lebih cinta produksi asli buatan anak negeri sendiri.
Bagian akhir dari novel mengingatkanku pada film Forrest Gump. Nasib, usaha, dan takdir bagaikan tiga bukit biru samar-samar yang memeluk manusia dalam lena. Hidup bagaikan sekotak coklat, kau tak pernah tahu rasa apa yang akan kau dapatkan. Sebenarnya aku baru tahu novel ini pada waktu pulang liburan summer kemarin ke Indonesia dan direkomendasikan seorang teman di Jakarta. Aku harus berterima kasih padanya untuk itu. Tapi ketika itu aku tidak sempat membaca lebih dari bab-bab awal dan selanjutnya buku itu aku tinggal di Jakarta. Awal Desember kemarin ketika pulang ke Medan aku mampir ke Gramedia dengan niat mencari buku pertama dari Ferdi Riva, seorang teman SMA dulu, namun tidak ada sehingga aku beli aja tiga buku dari tetralogi Laskar Pelangi ini. Hmm sekarang aku sudah tidak sabar ingin membaca buku kedua dan ketiganya. Pasti lebih menarik dan memotivasi lagi. Sukses terus bang Andrea! I am proud of you.
Tuesday, January 1, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment